Cara Analisa Saham Sektor Bisnis Retail

Model Bisnis dalam Sektor Retail

Pada dasarnya sektor retail adalah sektor yang paling dekat dengan kehidupan kita, sektor ini menjual produk mereka secara satuan maupun eceran kepada kita konsumen retail, bisnis retail sendiri adalah ujung tombak dari pemasaran produk, jadi para produsen bisa fokus dalam mengembangkan produk mereka tanpa harus terganggu penjualan eceran kepada konsumen akhir. 

Jenis Perusahaan Retail
Secara garis besar, terdapat dua kategori perusahaan retail, yaitu :

- Retail Staples
Perusahaan retail yang menjual kebutuhan primer, seperti Alfamart ($AMRT), Hero Supermarket ($HERO), dan sebagainya.

- Retail Discretionary
Perusahaan retail yang menjual barang-barang sekunder dan tersier. Emiten retail discretionary merupakan emiten yang biasa kita temui pada pusat perbelanjaan atau mal di sekitar kita.

Karakteristik Bisnis Retail
Berdasarkan jenis produk yang dijual, kita akan membagi emiten retail discretionary menjadi tiga, yakni:
  • Emiten yang menjual produk fashion seperti Matahari Department Store ($LPPF), Mitra Adiperkasa ($MAPI) dan Ramayana Lestari Sentosa ($RALS);
  • Emiten yang menjual peralatan elektronik seperti Erajaya Swasembada ($ERAA);
  • Emiten yang menjual perlengkapan rumah tangga seperti Ace Hardware ($ACES).
Retail discretionary sendiri masuk ke dalam kategori consumer cyclical, yaitu sektor bisnis yang memiliki siklusnya sendiri. Sederhananya, produk yang dijual oleh consumer cyclical bukanlah produk yang secara berkala dibeli oleh konsumen, karena biasanya dipengaruhi oleh tren.

Sebenarnya, model bisnis retail discretionary cukup sederhana. Perusahaan di sektor ini menjual produknya dengan membuka gerai di mal ataupun di tempat yang cukup ramai didatangi oleh calon pelanggan.

Beli Putus VS. Konsinyasi
Model bisnis dari emiten retail, kita dapat membagi penjualan mereka menjadi dua jenis, yakni:

1. Penjualan beli putus
Pada skema penjualan beli-putus, emiten membeli barang untuk dijual kembali dengan harga yang lebih tinggi untuk memperoleh keuntungan. Produk yang dibeli untuk dijual kembali akan dicatat oleh perusahaan sebagai inventory (persediaan).

2. Penjualan konsinyasi
Dalam penjualan konsinyasi, emiten melakukan kerja sama dengan brand untuk menjajakan barang yang diproduksi oleh brand terkait. Nantinya, perusahaan retail akan menerima bagi hasil dari brand yang menitipkan barang mereka untuk dijual. Dalam skema ini, persentase bagi hasil yang diterima oleh emiten biasanya bersifat fixed atau sudah ditetapkan di awal perjanjian kerja sama.

Berikut tabel terkait beberapa faktor yang menjadi pertimbangan emiten dalam menentukan proporsi penjualan beli putus dan penjualan konsinyasi:

Faktor Pendorong Kinerja Perusahaan Retail
Sebelumnya kita telah mengetahui 2 skema penjualan bisnis retail, kedua skema tersebut membuat performa emiten retail sangat bergantung dengan performa dari tiap outlet atau cabang.

Perusahaan retail juga kerap terpengaruh oleh kurs mata uang asing yang akan mempengaruhi margin laba. Selain itu, emiten retail juga memiliki karakteristik cyclical, di mana penjualannya bisa meningkat pesat di suatu periode atau musim tertentu.

Pertumbuhan Jumlah Outlet dan Same Store Sales Growth
Outlet merupakan hal yang sangat penting bagi perusahaan retail untuk menjual barangnya ke konsumen dan menghasilkan pendapatan. Hal ini membuat performa perusahaan tercermin pada pertumbuhan dan performa outlet-nya.

Nah, untuk mengevaluasi kinerja outlet perusahaan retail, kita bisa menganalisisnya melalui pertumbuhan jumlah outlet dan same store sales growth:

1. Pertumbuhan Jumlah Outlet
Karena mayoritas penjualan emiten retail masih bersifat offline, pertumbuhan outlet menjadi salah satu indikator penting untuk melihat potensi pertumbuhan emiten. Jika jumlah outlet emiten retail konsisten meningkat, maka emiten tersebut masih potensial untuk tumbuh di masa depan.

Selain jumlah outlet, kita juga perlu melihat pertumbuhan penjualan setiap outlet atau yang biasa disebut sebagai Same Store Sales Growth (SSSG). Metrik ini penting untuk kita perhatikan karena dapat menunjukan rata-rata kinerja penjualan setiap outlet yang dimiliki oleh emiten retail. Oleh karena itu, metrik ini dapat mencerminkan performa perusahaan secara keseluruhan. Pertumbuhan outlet yang tidak diimbangi dengan pertumbuhan SSSG menunjukkan penurunan produktivitas outlet dari emiten tersebut.

3. Inventory Days
Perusahaan retail biasanya memiliki fixed cost atau biaya pengeluaran tetap yang cukup tinggi. Di sisi lain, harga produk yang dijual relatif murah. Oleh karena itu, emiten retail harus pandai dalam mengubah inventory mereka menjadi cash dan membeli inventory baru untuk segera dijual.

Inventory days merupakan metrik yang menunjukkan rata-rata jumlah hari yang dibutuhkan perusahaan untuk menjual sebuah produk. Inventory days yang meningkat mengindikasikan bahwa perusahaan sedang kesulitan menjual inventory mereka. Sebaliknya, rasio inventory days yang menurun mengindikasikan bahwa perusahaan sedang mengalami penjualan yang kuat.

Ketika menganalisis inventory days, kamu juga perlu memperhatikan pertumbuhan penjualan di periode yang sama. Jika inventory days mengalami penurunan dan tidak disertai pertumbuhan sales, artinya emiten tidak memiliki inventory yang cukup untuk memenuhi demand dari konsumen.

*Catatan : jumlah inventory ideal bisa berbeda buat setiap retailer, tergantung produk yang dijualnya. Misalnya emiten retail fashion kemungkinan besar akan mempunyai inventory days yang lebih rendah dari pada emiten yang menjual barang-barang perabotan dan perlengkapan rumah tangga, hal itu disebabkan karena trend fashion yang lebih cepat berganti dibandingkan perabotan rumah tangga, jadi akan ada risiko kalau inventory days terlalu tinggi dan trend fashionnya sudah ketinggalan, barangnya akan susah laku.

4. Perubahan Nilai Tukar Mata Uang
Perubahan nilai tukar mata uang juga dapat mempengaruhi kinerja emiten retail. Sebab, beberapa emiten retail memiliki sensitivitas yang tinggi dengan kurs mata uang asing akibat porsi impor yang besar untuk inventory mereka. Oleh karena itu, kita perlu menganalisis fluktuasi kurs dari negara pengekspor inventory tersebut karena fluktuasi kurs dapat mempengaruhi margin dari emiten tersebut.

Apabila terjadi kenaikan kurs mata uang asing, margin emiten retail berpotensi turun karena harus menanggung selisih kenaikan kurs. Hal ini biasanya terjadi ketika perusahaan retail tidak memiliki pricing power untuk menaikkan harga. Sebaliknya, apabila terjadi penurunan pada kurs mata uang asing dan perusahaan tidak menurunkan harga jual, maka margin mereka akan mengalami kenaikan.

5. Daya Beli Masyarkat 
Hal lain yang dapat mempengaruhi kinerja emiten retail adalah daya beli masyarakat. Kalau kegiatan ekonomi yang sedang lesu seperti saat pandemi Covid-19, daya beli masyarakat juga akan ikut melemah sehingga berdampak negatif terhadap kinerja emiten retail. Sebaliknya, kondisi ekonomi yang baik dapat menjadi katalis positif bagi emiten retail karena berpotensi mengalami kenaikan penjualan.

6. Mobilitas Konsumen
Emiten retail sangat bergantung pada mobilitas konsumen karena mayoritas outlet berada di area padat pengunjung seperti mal. Kamu pasti masih ingat dengan lockdown yang diterapkan pemerintah akibat pandemi Covid-19 pada 2020 dan 2021 lalu, kan?

Rendahnya mobilitas masyarakat dan ditutupnya pusat perbelanjaan membuat emiten retail harus menutup sementara mayoritas outlet-nya. Dampaknya, penjualan emiten retail menjadi turun signifikan dan berimbas pada menyusutnya margin.

7. Faktor Musiman
Karena bukan merupakan kebutuhan pokok, emiten retail discretionary biasanya memiliki periode penjualan puncak tertentu. Salah satu momentum musiman yang memiliki pengaruh besar di Indonesia adalah hari raya Idul Fitri, terutama pada retail fashion.

Di momen ini, umat muslim Indonesia memiliki budaya membeli baju baru untuk perayaannya. Karena Indonesia didominasi oleh masyarakat beragama Islam, hal ini bisa sangat mempengaruhi penjualan retail fashion.

Misalnya, pada 2021 ketika Idul Fitri jatuh pada tanggal 12 Mei. Pada tahun tersebut, mayoritas pendapatan dan laba dari emiten retail fashion pada 2Q21 merepresentasikan 70-80% dari total pendapatan dan laba tahunan mereka.

Cara Analisa Sektor Retail
1. Struktur Biaya dan Operating Leverage
Selain biaya dari pembelian inventory, emiten retail juga memiliki biaya tetap (fixed cost) yang harus dikeluarkan dalam operasionalnya. Komponen yang termasuk dalam biaya tetap adalah beban gaji karyawan, operasional outlet, serta depresiasi sewa outlet.

Semakin besar biaya tetap, semakin banyak pula penjualan yang harus dihasilkan emiten untuk menutupi biaya operasional. Konsep ini disebut sebagai operating leverage atau kemampuan perusahaan dalam memanfaatkan biaya tetap untuk menghasilkan laba yang lebih tinggi bagi perusahaan. Semakin besar operating leverage, semakin besar pula emiten tersebut terekspos risiko kerugian jika mengalami penurunan penjualan.

Margin laba akan meningkat apabila terdapat lonjakan pada penjualan. Sebaliknya, margin laba berpotensi menyusut apabila terjadi penurunan pada penjualan mereka.

Sebagai contoh, saat pemerintah menerapkan pada 2020 hingga 2021 akibat pandemi Covid-19, banyak emiten yang mengalami penurunan penjualan. Di sisi lain, mereka tetap harus membayar biaya tetap (fixed cost), seperti gaji karyawan, biaya sewa, utilitas dan biaya lainnya. Hal ini menyebabkan penurunan pada laba emiten retail akibat penurunan margin laba. Bahkan, beberapa perusahaan mengalami kerugian karena penurunan penjualan yang drastis.

2. Competitive Landscape dan Tren Produk
Karena emiten retail discretionary menjual produk yang berbeda-beda, kita perlu memperhatikan jenis produk yang dijual ketika ingin menganalisis prospek dua emiten atau lebih. Misalnya, Ace Hardware ($ACES) yang menjual kebutuhan rumah tangga, tidak bisa dibandingkan dengan Erajaya Swasembada ($ERAA) yang menjual telepon seluler. Ini karena kedua emiten memiliki competitive landscape yang berbeda dan tidak bisa kita bandingkan walaupun sama-sama berada di sektor retail.

Kita juga perlu melihat tren dari produk yang dijual oleh emiten. Apakah produk tersebut masih diminati masyarakat, atau telah memasuki fase declining? Selain itu, apakah terdapat pesaing baru di industri?

3. Target Konsumen dan Purchasing Power
Tiap emiten punya strategi yang berbeda walau produk yang dijual sejenis. Dalam mengatur strategi bisnis mereka, biasanya emiten retail akan fokus untuk menjual produk ke target market tertentu.

Sebagai contoh emiten Ramayana ($RALS) lebih berfokus kepada masyarakat kelas menengah ke bawah, sehingga mereka akan fokus untuk menyediakan produk dengan harga yang lebih terjangkau. Contoh lainnya, Mitra Adiperkasa ($MAPI) yang menargetkan masyarakat kelas menengah ke atas, akan lebih fokus untuk menyediakan high-end product dengan harga yang lebih premium.

Jenis produk yang disediakan dan target market yang diincar perusahaan retail penting kita perhatikan karena adanya perbedaan daya beli (purchasing power) masyarakat. Biasanya, masyarakat dengan ekonomi yang lebih tinggi memiliki purchasing power yang lebih besar dan stabil dibandingkan dengan masyarakat menengah ke bawah.

Sebagai contoh, ketika banyak terjadi pemutusan kerja saat pandemi Covid-19, daya beli masyarakat cenderung menurun. Hal ini menyebabkan turunnya purchasing power masyarakat karena pengalihan alokasi dana yang mereka miliki untuk membeli kebutuhan primer dan menahan pembelian barang-barang sekunder yang dijual oleh emiten retail discretionary.

Comments

Follow saya di media sosial

Instagram  Twitter 
Dapatkan update artikel terbaru dari email anda:

Artikel Populer

SSSG Dalam Bisnis Sektor Retail

Tes Mengingat Pada Psikotest

Soal Pengetahuan Umum Untuk Psikotest

5 Tahun Bekerja di HSE Industri Perkeretaapian

Arti "Priced In" Dalam Saham